 |
Perjalanan menuju Gerbang Rimba, melewati hamparan kebun teh yang begitu indah ©Vincent Siregar
|
“Aku tak tahu apa lagi yang akan kulalui di depan.
Jalur setapak yang kulewati tak layaknya jalur pendakian pada umumnya, namun
lebih seperti sungai kecil. Jaket tebal anti-airku yang telah dilapisi tiga
lapis baju berbahan polar di dalamnya tak sanggup lagi membendung dingin yang
semakin menusuk hingga rusuk. Pun demikian dengan tas ransel yang berisi perbekalan
selama perjalanan menuju puncak yang kupanggul terasa layaknya memanggul batu.
Langkah kakiku semakin layu karena sepatu yang sudah terlapisi lumpur. Dalam
titik yang sudah mendekati kata menyerah tiba-tiba "Brak!", longsoran
batu yang jaraknya hanya beberapa meter dari jalur yang kulewati. Sekarang aku berteman
dengan maut, hanya tekad dan doa yang mampu menguatkanku.”
Ini adalah sebuah catatan perjalananku, saat aku merasa
maut hanya berjarak beberapa depa dari tempat aku berjalan merangkak, hari yang
paling menakutkan selama aku terlahir di dunia. Akankah nafasku berakhir
beberapa jam saja sebelum matahari terbit? Di tempat ini, jalan menuju puncak
Gunung Kerinci, titik gunung api tertinggi di Indonesia, aku sadar bahwa hanya
tekad, semangat, motivasi, dan kepercayaan terhadap diri sendiri serta Sang
Pencipta yang mampu memupuskan ketakutan untuk menggapai impian dan sesuatu
yang kita percayai bahwa kita bisa melakukannya.
Aku bukan pendaki profesional, bukan pula anggota
dari kelompok pecinta alam, juga tak lahir dari keluarga berlimpah materi. Aku
hanya pemuda yang lahir di sebuah desa kecil di pedalaman Pesawaran, Lampung,
namun dibesarkan di tengah hiruk pikuk kota Jakarta. Menginjak kaki di
perguruan tinggi, aku semakin senang membaca kisah-kisah petualangan. Meskipun
fisikku tak begitu bagus untuk menjadi petualang seperti Edmund Hillary ataupun
Colombus, namun tak ada salahnya membaca kisah-kisah mereka.
Aku menyukai kisah-kisah petualangan yang ditulis
oleh Norman Edwin dan juga Soe Hok Gie. Meskipun keduanya bernasib sama,
menghembuskan nafas terakhir di puncak gunung, setidaknya dari kisah mereka aku
percaya bahwa orang-orang baik dan jatuh cinta akan gunung berpulang di tempat
yang dicintainya pula. Gunung adalah salah satu tempat paling baik di muka
bumi, beberapa kelompok masyarakat dan kepercayaan di berbagai penjuru dunia
mengkultuskan gunung sebagai tempat suci. Lihatlah Gunung Kailash setinggi
6.638, tempat suci empat agama. Pemeluk Buddha Tibet menyebutnya Kang
Ripnpoche, Permata yang Mulia. Tapi di gunung ini, tempat petir dan maut
berjarak hanya beberapa depa, aku tak berharap nasibku sama seperti Soe Hok Gie
ataupun Norman Edwin.
***
Hamparan kebun teh menjadi sajian utama saat kukeluar dari base camp
pagi itu. Tadi malam setelah menempuh perjalanan panjang dari Bandarlampung, aku
bersama seorang sahabat terbaikku dalam hal mendaki gunung, Vincentius C.
Siregar, tiba di Desa Kersik Tuo. Desa kecil ini ibarat nirwana, yang kurang
hanya aliran sungai. Namun tanpa sungaipun aku tetap merasa kedamaian yang
nyata, apa yang surga janjikan kepada umat manusia.
Begini, tempatku menginap yaitu Base camp Jejak
terletak di tepi jalan lintas
Padang-Sungai Penuh. Beberapa pendaki dari dalam ataupun luar negeri biasanya
menginap disini sebelum memulai pendakian. Base camp ini dimiliki oleh
warga Kersik Tuo yang membuka rumahnya secara sukarela untuk diinapi oleh para
pendaki. Untuk mendaki Gunung Kerinci, beberapa pendaki lebih memilih untuk
masuk dari Padang dibanding Jambi, alasannya karena jalur yang lebih pendek,
pemandangan nan menawan, dan juga langsung tiba di desa terakhir sebelum pintu
pendakian ke Gunung Kerinci. Di seberang penginapanku, hamparan kebun teh yang
sungguh sangat luas terhampar bak permadani. Aku berjalan menuju sebuah pintu
yang sejauh mata memandang terlihat hanya hamparan kebun teh dengan latar
Gunung Kerinci setinggi 3.805 meter menyangga langit.
 |
Kabut yang menyeruak dari kejauhan. © Vincent Siregar |
Kabut pagi menyeruak saat sinar matahari
menghangatkan Kersik Tuo yang terletak di ketinggian 1.500 meter di atas
permukaan laut. Desa ini berhawa sejuk, atau lebih tepatnya dingin bagi aku
yang terbiasa hidup di suhu 33' celcius setiap harinya. Aktivitas warga desa
belum berjalan seutuhnya meskipun jarum jam sudah menunjukkan pukul lima pagi.
Mayoritas warga desa ini hidup sebagai petani dan juga pekerja di perkebunan
teh yang dimiliki oleh PTP Nusantara VI. Lahan kebun teh di Kersik Tuo yang jadi
bagian dari Perkebunan Teh Kayu Aro memiliki luas 2.500 hektare dan
menghasilkan daun teh berkualitas juara sejak zaman Belanda masih menduduki
Indonesia. Teh terbaik yang dihasilkan dikirim ke Belanda untuk diseduh sebagai
minuman sang Ratu Belanda. Perkebunan teh tua ini merupakan perkebunan teh
terluas di dunia dalam satu hamparan.
Memenuhi impian dan janjiku untuk melanjutkan Seven
Summit of Indonesia, dengan mendaki gunung api tertinggi di Indonesia, menjadi
motivasiku menginjakkan kaki di Kersik Tuo ini. Meskipun tak berpengalaman
dalam mendaki gunung di atas ketinggian 3.800 meter, namun melihat Kerinci saat
perjumpaan kami pertama kali telah menautkan batinku dengan gunung ini.
Kepundannya yang rusak akibat letusan membangkitkan mimpi-mimpiku sebagai anak
muda untuk berlutut di puncaknya. Tapi apa mungkin dengan fisikku yang tak
perkasa ini dapat mendakinya? Setidaknya, motivasi ini semakin kuat saat aku
berjanji untuk bisa melakukannya. Aku orang yang tak suka perayaan, tapi genap
dua tahun lalu setelah perjalanan hebat yang tak terlupakan, aku bulatkan tekad
untuk mendekatkan diri dengan alam, ibu dari segala kehidupan. Juga Vincent,
teman pendakianku ke berbagai gunung di Lampung. Kami sama-sama berjanji untuk
mendakinya untuk merayakan apa yang kami yakini sebagai titik terbaik untuk
merencakan kehidupan masa depan.
***
Hari pertama pendakian ke Gunung Kerinci, pukul
lima subuh, senandung burung membangunkan. Udara sejuk menyambut wajahku saat keluar
dari penginapan menyusuri jalan aspal menuju pintu rimba, penuh dengan oksigen
nan segar saat menghirup udara pagi. Pagi ini bukan hanya aku dan Vincent yang
akan menapaki setiap jengkal jalur pendakian Kerinci, namun kami bertemu juga
dengan 4 orang rombongan dari Kota Padang.
Hari ini target kami adalah tiba di Shelter 3,
tempat yang kami rencanakan untuk mendirikan tenda dan bermalam sebelum menuju
puncak Gunung Kerinci. Bagi para pendaki, selain Shelter 2 untuk mendirikan
tenda, Shelter 3 menjadi salah satu tempat yang sering dijadikan titik berkemah
sebelum mendaki menuju puncak Gunung Kerinci. Tepat pukul delapan pagi kami
sampai di gerbang rimba, kami sarapan setelah itu berdoa dan meminta izin
kepada Penguasa alam semesta agar dilindungi dalam pendakian ini.
 |
Seporsi sarapan yang disponsori oleh makanan cepat saji restoran asing. © Vincent Siregar |
Kami sekarang meninggalkan ketinggian 1.692 meter,
Pos Pintu Rimba. Dari Pintu Rimba, jalan setapak berpayung pepohonan nan rimbun
kami lalui dengan nyaman. Jalan landai dengan kontur tanah lembab menemani
perjalanan menuju Pos I. Beberapa kali kami berpapasan dengan pendaki baik
domestik maupun mancanegara.
Taman Nasional seluas 1.386.000 hektar ini adalah
rumah bagi 4.000 spesies tumbuhan, termasuk Bunga Rafflesia Arnoldi dan Titan
Arum. Disini hidup pula Harimau Sumatera yang populasinya kian terancam, Badak
Sumatra, Gajah, Macan Dahan, Tapir Melayu, Siamang, Beruang Madu, dan sekitar
370 spesies burung berbulu indah dan bersuara merdu. Bersama dengan Taman
Nasional Gunung Leuser dan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Kerinci Seblat
dinobatkan sebagai Situs Warisan Dunia oleh UNESCO.
Aku merasa beruntung sedang berusaha mewujudkan
impian dan anganku menjelajah tempat ini. Perjalanan kami terhenti di Pos II
Batu Lumut, kami beristirahat sejenak. Aku memanfaatkan waktu untuk merebahkan
tubuh sejenak meskipun aku tahu bahwa pos ini menjadi tempat perlintasan
Harimau Sumatera yang semaki sulit saja ditemui karena habitat hidupnya yag
semakin berkurang.
Dari Pos II menuju Pos III, jalanan mulai
menanjak. Perjalanan menuju Pos III ini kami tempuh dalam waktu satu jam. Aku
mulai terengah-engah memanggul barang bawaan dalam pendakian kali ini. Begitupun
dengan Vincent yang berbadan gempal sambil mengalungkan kameranya. Kami
berjarak satu sama lain.
Setelah menghadapi trek pendakian yang lumayan
menguras tenaga sampailah di Pos III, di tempat ini sebuah pondok sederhana
biasa digunakan para pendaki untuk beristirahat. Terdapat pula sumber air yang
ditempuh hanya kurang dari 5 menit. Setelah beristirahat selama beberapa menit
kami melanjutkan perjalanan ke Shelter I dengan ketinggian 2.512 meter.
Tanjakan demi tanjakan tanpa bonus mendatar menjadi sajian utama untuk kami
lewati. Pegal di pundak pun lutut semakin terasa.
 |
Sumber air di Pos III yang didominasi oleh permukaan cadas. © Vincent Siregar |
Dari Pos III menuju Shelter 1, perjalanan kami
tempuh sekitar satu setengah jam. Setibanya di Shelter 1, kami langsung
beristirahat. Waktu istirahat di Shelter 1 ini agak lama karena kami tahu bahwa
jalur pendakian dari Shelter 1 ini sangat menguras tenaga.
Dari Shelter 1, kami berusaha memacu langkah
dengan cepat. Trek pendakian yang sangat menguras tenaga tersaji di depan mata.
Pohon-pohon yang sudah lama tumbang diwarnai dengan kontur tanah berlumpur kami
lahap satu persatu. Dalam perjalanan, gerimis sudah mulai berganti dengan
butiran hujan. Hujan turun semakin beringas. Butiran-butiran sebesar kelereng
terasa sakit saat mengenai tubuhku yang mulai lemas. Aku tetap berjalan
mengikuti jalanaan setapak di tengah hujan yang lebat. Tujuanku hanya satu,
terus melewati jalur setapak dan tetap bergerak. Jika berdiam diri, aku takut
gejala dingin menyerang tubuh. Ini sangat berbahaya saat pendakian jika aku
mengalami hipotermia.
 |
Medan yang berat tersaji di depan mata, menjadi warna dalam sebuah pendakian. © Vincent Siregar |
Aku tak tahu apa lagi yang akan kulalui di depan.
Jalur setapak yang kulewati tak layaknya jalur pendakian pada umumnya, namun
lebih seperti sungai kecil. Jaket semi-waterproof yang kugunakan tak
sanggup membendung air yang semakin kencang membasahi sekujur tubuh. Pun tas
ransel berukuran 60 liter berisi beragam macam peralatan pendakian kupanggul
dengan rasa berat seperti memanggul batu. Langkah kakiku semakin layu karena
sepatu yang penuh air. Dalam titik yang sudah mendekati kata menyerah tiba-tiba
"duaaaaaaarrrrrr...", letusan petir menyambar pohon yang jaraknya
hanya beberapa meter dari jalur yang kulewati.
Semangatku tetap menggebu namun terbatasi oleh
tubuhku yang bergetar. Langkah kaki yang terus melangkah di antara deru hujan
yang terasa mencekam saat aku melewati hutan yang semakin suram ini hanya
berdua. Petir saling bersahutan dan letupannya hanya berjarak beberapa meter
saja dari jalur yang kulewati.
Aku yakin ini pula yang dirasakan para pendaki dan
sherpa di Everest saat mendengar avalans bergemuruh menimpa mereka. Bunyinya
yang laksana letusan bom atom telah membuat bulu kuduk merinding. Setidaknya
aku dan pendaki-pendaki lainnya pernah merasakan takut, mencekam, dan
'gila'-nya kita tau hanya dua kemungkinan yang sedang akan terjadi dalam hidup
kita saat pendakian gunung: hidup atau mati.
Aku tetap melahap tanjakan demi tanjakan meskipun
dalam hujan. Hampir setengah jam perjalanan dirundung hujan lebat, aku dan
Vincent memutuskan untuk mendirikan tenda di sebuah tanah yang lumayan lapang
berjarak sekitar setengah jam dari shelter tujuan kami selanjutnya, Shelter 2. Dengan
tubuh yang menggigil, jari-jari tangan yang sudah mulai kaku, dan sekujur tubuh
basah, kami mendirikan tenda berkapasitas 3 orang di tengah hujan deras.
Meskipun keadaan ini krusial, namun kami tetap melakukannya dengan hati-hati
dan penuh perhitungan. Setelah tenda berdiri tegak, kami masuk dan langsung
berganti pakaian.
Dalam gelisah, aku menitipkan doa pada Sang
Pemilik Semesta agar hujan segera reda dan kami dapat melanjutkan perjalanan
lagi. Meski kutahu, bahwa semua ini di luar dugaan. Manusia hanya dapat
berencana, Tuhanlah yang berhak menentukan.
 |
Pelangi yang menampakkan keindahannya setelah hujan berlalu di Shelter 2 Bayangan. © Vincent Siregar |
Hari sudah mulai gelap, hujan deras berganti
menjadi gerimis. Kami memutuskan untuk mempersiapkan diri melanjutkan
perjalanan. Kali ini tujuan kami bukan Shelter 3, kami memutuskan untuk
melanjutkan hanya menuju Shelter 2, tidak sesuai dengan rencana pendakian. Kami
mengambil keputusan tersebut karena memikirkan segala resiko yang akan terjadi
jika tetap melanjutkan perjalanan menuju Shelter 3 yang trek pendakiannya
sangat menguji kesabaran dan daya tahan tubuh. Di samping itu, keuntungan akan
kami dapatkan ketika turun dari Summit Attack keesokan harinya. Kami
tidak perlu repot-repot membawa ransel yang cukup besar di tengah medan yang
sangat berat.
Setelah setengah jam aku melanjutkan perjalanan
melalui jalur pendakian yang bentuknya lebih tepat disebut sungai, aku tiba di
Shelter 2 dalam kondisi kedinginan. Pun begitu dengan Vincent. Langsung kami
mendirikan tenda di lokasi yang tersedia. Kebetulan memang malam itu sudah
banyak tenda pendaki mengisi setiap lapak yang tersedia.
Kami beristirahat sembari membuat kopi hangat. Malam
semakin gelap dan kabut semakin pekat saja menutup pemandangan. Perlahan-lahan
menutupi lembah di sisi kiri Shelter 2. Jarak pandang semakin pendek saja. Kami merasakan dingin mulai menusuk tulang.
Semua pakaian yang kami bawa pun sudah basah karena embun. Awalnya kami kira
akan baik-baik saja ternyata semakin membuat badan kami menggigil. Aku
mengganti pakaian, pun begitu dengan Vincent. "Dingin banget! Kaya di
Liwa" ujarku pada Vincent, lelaki yang sudah terbiasa tinggal di daerah
dingin seperti yang kusebut.
 |
Potret senja yang berhasil ditangkap di sisi kiri tempat kami mendirikan tenda. © Vincent Siregar |
Seperti halnya pendakian sebelumnya, aku merasa
tenang karena Vincent adalah orang yang terampil perihal memasak di alam
tebuka. Ia selalu bisa diandalkan dalam urusan perut. Jadi, aku hanya duduk
tenang memandangi kaleng berisi ikan itu dipanaskan, ya, itu sarden. Menurutku
itu sudah terlalu mewah dalam takaran sebuah pendakian, terlebih tadi pagi pun
kami sarapan dengan makanan yang tidak kuduga sampai dibawa ke pendakian. Itu
adalah sepaket ayam panas khas restoran cepat saji dari Amerika Serikat, Mc
Donald’s. Aku tertawa terbelangak mengingat sarapan tadi pagi, seumur
pendakian baru kali itu ada yang membawa makanan sekelas McD ke jalur
pendakian. Itu berkat sahabat kami dari Padang, yang setiap hari memang
bergelut dengan ayam goreng renyah, burger, dan Mc Flurry milik Mc
Donald’s.
Kurasa makanan malam ini terlalu berlebihan dan
perutku tidak mampu lagi menampung, alhasil masih tersisa banyak makanan yang
belum termakan. Yang dibutuhkan saat ini bukan makan, namun tidur untuk kembali
mengisi energi yang telah terkuras habis oleh medan pendakian. Makan malam
ditutup dengan segelas coklat panas. Aku sudah melapisi tubuh, menutupi kaki, telinga
dan menyelinap dalam sleeping bag. Aku siap bertempur melawan dingin
untuk terlelap. Semoga dapat terbangun dalam keadaan bugar di pukul dua dini
hari nanti.
Malam ini berbeda dari biasanya. Tak ada kasur
yang nyaman, hanya ada matras kusam sebagai alas tidur. Sebelum tidur, tentu
banyak harapan dan doa kuucapkan dalam hati. Kadang di gunung kita bisa menjadi
sangat melankolis. Aku tak tahu apa pendaki-pendaki lain juga mengalami hal
demikian. Aku terlelap tanpa melihat jarum jam.
***
Alunan dering pengingat berdering keras di
ponselku, pertanda bahwa pukul dua dini hari sudah tiba. Nampaknya begitu cepat
waktu beralun, kurasa baru lima menit yang lalu terlelap. Sesuai rencana, kami
berkemas menyiapkan perbekalan untuk melakukan Summit Attack ke
ketinggian 3805 mdpl. Kami melanjutkan perjalanan Summit Attack dari
Shelter 2 menuju Shelter 3, sesuai dengan kesepakatan kemarin setelah hujan.
Perjalanan paling sengsara adalah dari Shelter 2 menuju Shelter 3. Jalur yang
berupa celah parit sangat sempit membuat ransel kecilku beberapa kali
tersangkut. Beberapa kali pula aku memanjat parit karena tidak muat untuk
dilewati.
 |
Perjalanan menuju Shelter 3, medan semakin berat ditambah dingin yang begitu menusuk. © Vincent Siregar |
Tanah yang licin setelah hujan juga menjadi
kendala saat melewati jalur ini. Pada ketinggian ini, vegetasi Gunung Kerinci
berupa pohon-pohon yang mayoritas ditemukan pada gunung lain di Sumatra dan
Indonesia pada umumnya. Namun ada hal yang menarik di sepanjang jalur pendakian
menuju Shelter 3 ini. Pohon di sepanjang jalur menutup langit-langit seperti
layaknya sebuah terowongan di negeri dongeng.
Kami tiba di Shelter 3 lebih cepat dari perkiraan.
Gerak kami diburu oleh fajar yang segera tiba.
"Untungnya masih ada barengan ke Puncak,"
ujar Vincent.
"Istirahat sebentar, habis itu lanjut
jalan ke Puncak," timpalku sambil duduk memegang botol air minum.
Kami bergegas dalam kedinginan yang sangat. Perjalanan
dini hari yang hanya dilakukan berdua dari Shelter 2 menuju Shelter 3
menyisakan rasa dingin pada tubuh yang belum juga menghangat.
"Grrr...rrr...rrr," suara gemetar dari mulut sembari tubuh
digoyangkan, juga tangan yang diusap-usap menjadi aktivitas yang menyelingi
kegiatan Summit Attack.
Sungguh, aku merasa sangat kedinginan kali ini. Dilapisi
baju 2 lapis, jaket tebal, dan celana 2 lapis tak mampu menghalangi dingin yang
kuderita. Dinginnya sudah menusuk ke tulang. Jemariku merasa nyaris tak dapat
bergerak.
Jaket dan sarung tanganku cukup membantu kembali
menghangatkan tubuhku yang sudah lemah. Ini pagi yang akan kuingat. Pagi
diketinggian 3.320 meter sungguh jauh berbeda dengan pagi-pagi yang kulalui di
kotaku.
Pagi menjadi saat mengharukan. Mimpi adalah salah
satu senjata terkuat untuk meyakinkan diri kita bahwa kita mampu untuk berbuat,
bermanfaat, dan menginspirasi lingkungan-lingkungan terdekat. Dari pendakian
ini, banyak pelajaran yang kudapat. Aku percaya bahwa upaya mewujudkan impian
dan cita-cita itu lebih indah dan nikmat dibanding impian dan cita-cita itu
sendiri. Aku sangat percaya bahwa proses itu lebih penting dari hasil akhir. Setidaknya
upaya-upaya yang kulakukan baik sebelum dan saat pendakian adalah kisah kecil
namun memberikan semangat dan pelajaran yang besar bagi diriku sendiri. Kita
kadang harus yakin dan mem-push diri kita untuk menggapai impian
tersebut. Walaupun di mata orang impianku memang sederhana, menapaki atap
sumatera. Namun tak ada ukuran besar atau kecil sebuah mimpi, yang ada adalah
seberapa keras usaha kita mewujudkannya. Mungkin ini pula yang dilakukan oleh
orang-orang yang pantang menyerah. Walaupun jatuh beribu-ribu kali dalam
usahanya, namun kata menyerah bukanlah akhir dari semuanya.
Sekarang aku sudah lewat setengah perjalanan untuk
mewujudkan impian pendakian. Pagi tiba dengan sangat cepat, berbanding terbalik
dengan langkahku menuju puncak Gunung Kerinci. Terlalu berat mendaki dalam
suasana yang teramat dingin seperti ini. Gelap ini hanya berteman dengan sinar
senter yang menerangi ayun langkahku menapaki tanah menanjak yang berbatu ini.
Sudah terlalu lambat untuk menginjakkan kaki di puncak Gunung Kerinci sebelum
matahari terbit.
 |
Punggungan bukit menuju ke Tugu Yudha. © Vincent Siregar |
Di tengah perjalanan, semburat matahari telah
memunculkan sinarnya. Rona biru yang merekah telah membelah Gunung Tujuh di
seberang Gunung Kerinci. Kabutnya tak habis memayungi pegunungan Bukit Barisan.
Sungguh, pagi yang tak pernah kulupakan melihat sepenggal nirwana di dunia.
Aduhai, inikah sepotong surga yang kerap dibicarakan itu?
Langkah kakiku semakin layu karena sepatu yang
sudah terlapisi lumpur. Dalam titik yang sudah mendekati kata menyerah
tiba-tiba "Brak!", longsoran batu yang jaraknya hanya beberapa meter
dari jalur yang kulewati. Sekarang aku berteman dengan maut, hanya tekad dan
doa yang mampu menguatkanku. Juga dorongan semangat dari sahabatku yang tak
pernah berhenti memacuku untuk dapat kembali berdiri tegak, menyusuri jalan
yang bertepikan jurang ini, dan menggapai puncak yang terlihat masih begitu
jauh. Aku terus berjalan merangkak di jalur yang menanjak curam. Untuk sekali
tanah yang lembab membuat langkahku cukup mudah.
Aku tiba di Tugu Yudha saat hari sudah mulai
terang. Tugu ini terletak di ketinggian 3.685 meter yang dibuat untuk mengenang
pendaki yang hilang di Gunung Kerinci. "Hingga sekarang, Yudha tak pernah
kembali. Yudha begitu mencintai alam ini, sehingga alampun mencintainya dan
enggan membiarkannya pulang” sebuah kata yang selalu kuingat dari beberapa
artikel yang kubaca sebelum melakukan pendakian ini.
Di Tugu Yudha aku bertemu seseorang yang biasa
disapa Pak De. Ia adalah pemandu pendakian dari Base Camp Jejak Kerinci.
Olehnya aku ditunjukkan jalan untuk meminum air yang berada di sekitar Tugu
Yudha karena air minum yang kami bawa habis.
"Ayo kita lanjutkan perjalanan ke puncak. Kita
jadi rombongan terakhir," ujar Vincent sambil menunjuk ke arah puncak.
Dari Tugu Yuddha, satu tanjakan vertikal lagi harus diselesaikan. Terang
begini, jalur sudah terlihat jelas, membuat kita semakin berat melangkahkan
kaki.
"Ayolah! Aku pasti bisa," semangatku
dalam hati.
 |
Beberapa meter lagi menuju ke Puncak Indrapura. © Vincent Siregar |
Masa-masa yang kunantikan pun tiba. Puncak Gunung
Kerinci hanya berjarak beberapa meter lagi dari tempatku berdiri. Aku semakin bersemangat
untuk menggapainya, melangkahkan kakiku lebih cepat untuk mengejar impianku
yang hanya berjarak beberapa meter lagi.
Seluruh tubuhku gemetar, rasa haru meliputiku
ketika aku melihat dengan jelas sebuah plat besi bertuliskan “TOP KERINCI 3805
MDPL” yang bersebelahan dengan bendera Merah Putih. "Terima kasih Tuhan!,"
dalam kegembiran yang tak berlebihan aku lirih. Rasa syukur ini tiada habisnya
saat mencapai Puncak Indrapura dengan ketinggian 3805 mdpl. Tak jauh dari
tempatku berdiri, lubang kawah yang dalamnya beberapa ratus meter menganga
lebar.
 |
Rasa suka, haru, dan syukur bercampur menjadi satu. Aku menapaki tanah tertinggi di Sumatera. © Vincent Siregar |
Jauh diseberang, Danau Gunung Tujuh terlihat
sangat indah. Juga hamparan kebun teh nan luas terlihat samar dari atas. Awan
putih nan bersih berarak-arakan menutupi barisan pegunungan Bukit Barisan. Akiu
memandang ke sekeliling, sungguh sangat luas dan indah.
Setiap orang di puncak ini merayakan kegembiraan
dan jutaan syukur atas upayanya berjuang menjejaki tanah menanjak dan berbatu,
untuk mencapai tempat ini, puncak gunung api tertinggi di Indonesia. Momen
tersebut diabadikan dengan berfoto, mengirimkan buah tangan berupa foto kepada
orang tercinta, dan juga menikmati triangulasi bayangan kerinci yang begitu
gagah. Sungguh, bumi ini tercipta dengan begitu indah.
Dari pendakian ini aku merasa sangat kecil, tak
ada apa-apanya dibandingkan dengan ciptaan Sang Maha Kuasa. Sungguh, rasa
gamang berdiri di tubir kawah yang menganga besar telah menyadarkanku bahwa
inilah hidup. Tak ada yang perlu dibanggakan dengan ketinggian apapun bentuk
ketinggian tersebut. Kita hanya butiran debu dibandingkan apa yang ada pada
alam semesta. Namun bukan berarti butiran debu tak boleh bermimpi dan berusaha
untuk mewujudkan semua impian.
Dari puncak Gunung Kerinci, aku meninggalkan
pesan. Sebaris pesan untuk sahabat yang telah berjuang bersama dalam pendakian
ini. Semoga kita bisa berpelukan kembali dengan kisah-kisah yang penuh kenangan
seperti ini pula. Terima kasih telah mendukungku menunaikan ibadah impianku,
3.805 meter di atas permukaan laut.
 |
Potret aku bersama sahabatku, Vincent Siregar, dengan latar belakang bayangan triangulasi Kerinci. Terima kasih, Sahabat! |
Fery Ardian